CATATAN INDRA
Beberapa orang memilih untuk menunggu, sementara yang lainnya sibuk berputar-putar untuk mencari. Jika kamu lupa maka akan kuingatkan kembali perihal ini: hidup adalah transisi, kepemilikan kita atas sesuatu atau seseorang adalah transisi dari kehilangan yang pernah kita alami sebelumnya -dan yang akan terjadi setelahnya.
Setelah membaca kalimatku di atas, kamu akan mengingat sepanjang sejarah hidupmu, berapa kali kehilangan sudah kamu hadapi -baik yang luput maupun masih lekat di ingatanmu. Kehilangan alat tulis waktu kecil, atau kehilangan orang yang karena alasan tertentu memilih untuk meninggalkanmu.
Betapa hidup menjadi kumpulan pilihan rumit seiring bertambahnya usia. Betapa memilih pergi bukanlah perkara mudah. Sesekali kamu merutuk, bagaimana dia dengan mudah pergi meninggalkanmu sementara kamu berharap dia akan kembali. Entah kapan.
Kamu muak dengan banyaknya nasihat orang-orang sekitarmu yang memintamu untuk pergi, menjalani hidupmu yang baru. Mereka lupa bahwa menasihati orang yang sedang jatuh cinta atau patah hati itu amat sulit, sesulit menakar pertimbanganmu memilih untuk bertahan. Dan terkadang mereka lupa, bahwa yang kamu butuhkan adalah peluk mereka, peluk yang tulus tempatmu menangis sekencang-kencangnya.
Kepercayaan. Hal abstrak yang kamu jadikan pertimbangan. Kamu hanya percaya suatu saat dia akan pulang dan memang tak ada uji validasi paling akurat dari rasa percaya selain menjalaninya.
Kamu percaya mereka yang pergi pasti akan pulang, entah kapan tapi pasti. Dan kamu percaya waktu akan menjadi protagonis kali ini, entah membawanya pulang atau malah membawa keikhlasan bagimu untuk melepasnya.
Kamu percaya bahwa dia sedang tersesat dalam pencariannya. Kamu percaya bahwa doa-doamu akan menjelma bintang selatan, yang menunjukkan arah pulang baginya. Dan kamu. Kamu sampai tibanya saat itu hanya mampu berdoa bahwa kamu masih menjadi rumah bagi kaki-kaki letihnya. Menyambutnya dengan senyum terbaik dan mendengarnya berkata, “aku pulang.” Ditulis sebagai lanjutan dari cerita pada hari ke-1:
Kita masih duduk berdua di salah satu rumah makan cepat saji. Aku dengan cemasku, kamu dengan cemasmu. Hanyut dalam lamunan masing-masing.
Kamu tetap diam, matamu mengawang seakan di hadapanmu telah terpasang pita yang ketika aku masuk ke ruang tunggu nanti akan membentang sepanjang jarak kita. Setelah cukup lama kita bersama, akhirnya tiba hari ini. Hari ketika jarak menjadi penguji.
Matamu berkaca-kaca, aku tahu benar bahwa ada yang hampir pecah di dalam sana. Bukan hal mudah memang menyikapi jarak. Pertanyaan yang berawal dari bagaimana kemudian muncul di kepalamu. Bagaimana bila ternyata aku tidak kembali, bagaimana kalau ternyata nanti aku bertemu wanita lain dan bagaimana jika ternyata kita tak cukup kuat menyikapi jarak?
“Itu pesawatku boarding,” kataku. “Aku pergi. Tenang saja, aku pasti kembali lagi, segera setelah segala suatunya aku persiapkan.” Aku memelukmu, entah kenapa kali ini pedih begitu terasa.
“Aku akan menyusulmu ke Jakarta, baik-baik di sana ya, ada hatiku yang kamu bawa bersama setiap langkahmu,” jawabmu.
Beberapa orang memilih untuk menunggu, sementara yang lainnya sibuk berputar-putar untuk mencari. Jika kamu lupa maka akan kuingatkan kembali perihal ini: hidup adalah transisi, kepemilikan kita atas sesuatu atau seseorang adalah transisi dari kehilangan yang pernah kita alami sebelumnya -dan yang akan terjadi setelahnya.
Setelah membaca kalimatku di atas, kamu akan mengingat sepanjang sejarah hidupmu, berapa kali kehilangan sudah kamu hadapi -baik yang luput maupun masih lekat di ingatanmu. Kehilangan alat tulis waktu kecil, atau kehilangan orang yang karena alasan tertentu memilih untuk meninggalkanmu.
Betapa hidup menjadi kumpulan pilihan rumit seiring bertambahnya usia. Betapa memilih pergi bukanlah perkara mudah. Sesekali kamu merutuk, bagaimana dia dengan mudah pergi meninggalkanmu sementara kamu berharap dia akan kembali. Entah kapan.
Kamu muak dengan banyaknya nasihat orang-orang sekitarmu yang memintamu untuk pergi, menjalani hidupmu yang baru. Mereka lupa bahwa menasihati orang yang sedang jatuh cinta atau patah hati itu amat sulit, sesulit menakar pertimbanganmu memilih untuk bertahan. Dan terkadang mereka lupa, bahwa yang kamu butuhkan adalah peluk mereka, peluk yang tulus tempatmu menangis sekencang-kencangnya.
Kepercayaan. Hal abstrak yang kamu jadikan pertimbangan. Kamu hanya percaya suatu saat dia akan pulang dan memang tak ada uji validasi paling akurat dari rasa percaya selain menjalaninya.
Kamu percaya mereka yang pergi pasti akan pulang, entah kapan tapi pasti. Dan kamu percaya waktu akan menjadi protagonis kali ini, entah membawanya pulang atau malah membawa keikhlasan bagimu untuk melepasnya.
Kamu percaya bahwa dia sedang tersesat dalam pencariannya. Kamu percaya bahwa doa-doamu akan menjelma bintang selatan, yang menunjukkan arah pulang baginya. Dan kamu. Kamu sampai tibanya saat itu hanya mampu berdoa bahwa kamu masih menjadi rumah bagi kaki-kaki letihnya. Menyambutnya dengan senyum terbaik dan mendengarnya berkata, “aku pulang.” Ditulis sebagai lanjutan dari cerita pada hari ke-1:
Kita masih duduk berdua di salah satu rumah makan cepat saji. Aku dengan cemasku, kamu dengan cemasmu. Hanyut dalam lamunan masing-masing.
Kamu tetap diam, matamu mengawang seakan di hadapanmu telah terpasang pita yang ketika aku masuk ke ruang tunggu nanti akan membentang sepanjang jarak kita. Setelah cukup lama kita bersama, akhirnya tiba hari ini. Hari ketika jarak menjadi penguji.
Matamu berkaca-kaca, aku tahu benar bahwa ada yang hampir pecah di dalam sana. Bukan hal mudah memang menyikapi jarak. Pertanyaan yang berawal dari bagaimana kemudian muncul di kepalamu. Bagaimana bila ternyata aku tidak kembali, bagaimana kalau ternyata nanti aku bertemu wanita lain dan bagaimana jika ternyata kita tak cukup kuat menyikapi jarak?
“Itu pesawatku boarding,” kataku. “Aku pergi. Tenang saja, aku pasti kembali lagi, segera setelah segala suatunya aku persiapkan.” Aku memelukmu, entah kenapa kali ini pedih begitu terasa.
“Aku akan menyusulmu ke Jakarta, baik-baik di sana ya, ada hatiku yang kamu bawa bersama setiap langkahmu,” jawabmu.
“Panggilan kepada para penumpang pesawat nomor penerbangan QZ 855 untuk segera memasuki pesawat udara.”
Aku tersadar dari lamunanku. Senja ke sekian sejak waktu itu. Senja ketika aku memelukmu terakhir kali, sebab setelahnya kita hanya sibuk mengutuk jarak. Kita takhluk.
Beberapa bulan setelahnya kamu menepati janjimu untuk ke Jakarta, namun bukan untuk menemuiku. Kamu telah menemukan hati yang lain. Sementara aku masih di sini, hari ini genap 10 tahun sejak kejadian itu, duduk dengan menatap jendela di pesawat.
Kenyataannya waktu itu aku tidak sedang pergi, tapi sedang melepaskan kepergianmu, bersamanya.
Sebab, bandara sebenarnya adalah salah satu saksi dari sekian banyak perpisahan dan pertemuan. Meski tak jarang kepergian itu sesungguhnya memang tak bertujuan untuk kembali.
0 komentar:
Posting Komentar